Jumat, 22 Juli 2011

Selamatkan Masa Depan Industri Tekstil


Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia masih dihadapkan pada banyak problem mendasar. Belum lagi ancaman produk impor pasca-pemberlakuan kawasan perdagangan bebas Asean-China (ACFTA). Perlu solusi yang integratif untuk mendongkrak kinerja industri padat karya ini.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur yang diolah kabarbisnis.com menyebutkan, kinerja industri manufaktur subsektor industri TPT masih menyedihkan. Pada triwulan I/2011, kinerja industri tekstil di Jatim minus 5,94%. Sentra-sentra tekstil di Pasuruan, Gresik, Lamongan, Surabaya, dan Tulungagung merana.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jatim, Sherlina Kawilarang, menuturkan, industri TPT masih terbentur sejumlah problem mendasar.
Pertama, permasalahan energi. Pasokan listrik dari PLN masih mahal. "Kami mendesak adanya insentif untuk pembayaran tagihan listrik karena kami juga mendukung pemakaian listrik di luar beban puncak PLN," ujar Sherlina, Selasa (31/5/2011).
Kedua, permasalahan pembiayaan. Saat ini perbankan masih menilai industri TPT sebagai sunset industry. Hambatan ini berkorelasi dengan problem permesinan industri tekstil yang mendesak untuk direvitalisasi agar bisa meningkatkan kapasitas produksi. "Benar bahwa ada dana revitalisasi permesinan untuk TPT dari pemerintah. Tapi tetap saja perlu dana untuk memperbarui mesin karena pemerintah hanya memberikan subsidi. Untuk membeli mesin baru, investasi yang dibutuhkan tentu tak sedikit. Dalam konteks inilah, pembiayaan dari perbankan sangat dibutuhkan," ujarnya.
Ketiga, permasalahan bahan baku yang masih harus diimpor, seperti kapas dan serat sintetis. Problem bahan baku ini menunjukkan bahwa urusan peningkatan kinerja industri tekstil bukan hanya urusan para pelaku usaha saja. "Pemerintah mestinya juga harus ikut mendorong, antara lain, melalui budidaya kapas yang merupakan bahan vital produksi tekstil."
Ancaman yang juga harus diperhitungkan adalah serbuan produk tekstil dari China. Saat ini impor produk tekstil dari China membesar, bahkan untuk kerudung dan kain seragam sekolah.
"Di luar itu ada kendala terbatasnya kualitas sumberdaya manusia yang mempunyai keahlian teknik tekstil. Saya berharap pengoperasian Sekolah Tinggi Teknik Tekstil (STTT) di Jawa Timur dapat mengatasi masalah tersebut," ujarnya.
Upaya pemerintah
Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jawa Timur, Drajat Irawan, mengatakan, memang saat ini masih banyak hambatan pada industri TPT, tapi pemerintah terus berusaha sekuat tenaga membangkitkan kembali industri ini di tengah ancaman ACFTA.
Permasalahan klasik seperti terbatasnya sumber daya ahli di bidang pertektilan, banyaknya bahan baku industri yang masih harus diimpor, serta permasalahan pasokan energi dan restrukturisasi mesin yang belum opromal, menurut Irwan, tak lantas membuat industri ini terpuruk. Pemerintah pun menurutnya kini mati-matian terus melakukan perlindungan terhadap industri ini.
Beberapa langkah yang ditempuh di antaranya adalah dengan mempercepat restrukturisasi permesinan dan meningkatkan kapasitas produksi. Selain itu, pemerintah juga getol mendorong hidupnya kembali perguruan tinggi di bidang pertekstilan untuk mengatasi kekurangan tenaga ahli dan tenaga kerja terampildi industri ini.
Pemerintah juga meningkatkan nilai tambah produk garmen Indonesia dengan mengkolaborasikan produsen garmen dan desainer untuk meningkatkan desain garmen. "Selain itu, penerapan SNI (Standar nasional Indonesia) pada industri tekstil juga terus digalakkan," imbuh Irwan.
Yang terakhir menurutnya, pemerintah terus mendorong industri finishing menggunakan pewarna organik yang ramah lingkungan.
Di luar itu, ia juga terus mendorong peran perbankan dalam pengembangan industri TPT. "Dengan demikian, isu deindustrialisasi bagi industri TPT tidak terbukti," tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar