Jumat, 28 Oktober 2011

PERDAGANGAN BEBAS GLOBAL: MENGAPA DAN UNTUK SIAPA?


Dunia saat ini sedang menghadapi dua krisis yang hebat, yaitu krisis keuangan global dan perubahan iklim. Untuk menyikapi krisis tersebut, pada tahun 2009 telah terjadi 3 pertemuan besar tingkat dunia. Dalam ketiga pertemuan tersebut Indonesia ikut berperan aktif.
Berikut ini adalah tiga pertemuan besar yang diselenggarakan dan peran yang dilakukan Indonesia:
Perundingan G20 (pertemuan 20 ekonomi terbesar dunia yang beranggotakan negara-negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia) pada bulan April 2009 (London Summit) dan September 2009 (Pittsburg Summit).
Dalam perundingan ini, Indonesia mengusulkan skema utang luar negeri melalui counter cyclical policy, yaitu upaya penguatan sistem keuangan dan reformasi dalam lembaga keuangan internasional.
Ketika terjadi deflasi (penurunan nilai mata uang karena banyaknya uang yang beredar), pemerintah menaikkan suku bunga bank, sehingga banyak orang menabung, dan jumlah uang yang beredar di masyarakat berkurang. Sedangkan ketika terjadi inflasi, pemerintah menurunkan suku bunga bank, sehingga banyak orang meminjam uang ke bank untuk investasi.
Salah satu bentuk dari kebijakan ini adalah pemberian stimulus keuangan kepada negara berkembang seperti Indonesia melalui bank multilateral dan IMF.

Perundingan WTO di Genewa pada bulan Desember 2009.
Dalam perundingan ini, Indonesia aktif dalam menyukseskan putaran Doha (Doha Development Agenda), yaitu penghapusan proteksionisme dalam perdagangan dan pemberian paket-paket stimulus keuangan (utang).
Pertemuan di Kopenhagen untuk mengatasi perubahan iklim pada Desember 2009.
Dalam pertemuan ini SBY menyatakan menerima Copenhagen Accord/Traktat Kopenhagen, yaitu hasil perundingan tertutup beberapa pimpinan negara yang dipimpin oleh AS.
Dalam traktat ini, negara berkembang dituntut paling banyak untuk berpartisipasi dalam penurunan suhu bumi melalui beberapa program mitigasi. Untuk itu, negara-negara maju akan memberikan bantuan dana untuk program-program yang bertujuan untuk dapat menurunkan kenaikan suhu bumi dan emisi rumah kaca, melalui tindakan mitigasi.
Inti dari partisipasi aktif Indonesia dalam pertemuan-pertemuan tersebut adalah agar Indonesia memperoleh utang baru di tahun 2010. Padahal sejarah mencatat, karena utanglah Indonesia tidak akan pernah bisa lepas dari lilitan krisis ekonomi dan kemiskinan. Bahkan melalui utang pulalah, kekayaan alam Indonesia telah tergadaikan, melalui berbagai skenario yang dirancang oleh lembaga kreditur (pemberi utang), seperti IMF, Bank Dunia, ADB dan lainnya.
Perdagangan bebas yang terjadi saat ini (baik dalam lingkup regional, multilateral, dan bergabungnya Indonesia dalam WTO) adalah buah dari paket hutang Indonesia ke negara-negara maju. Konsekuensi dari bergabungnya Indonesia dalam WTO dan FTA (Free Trade Agreement) adalah Indonesia harus menyepakati untuk meliberalisasi/tidak membatasi  pasar mereka agar terbuka untuk dimasuki barang dan jasa dari luar.
Bagaimana Kaitan Utang dengan Perdagangan Bebas?
Perdagangan bebas adalah gaya baru bagi kapitalis dan negara maju untuk memperluas perdagangannya dan memperoleh bahan baku murah. Perdagangan bebas telah direncanakan secara rapi dan sistematis oleh negara-negara maju kepada negara berkembang. Salah satu sarana pendukungnya adalah melalui organisasi-oranisasi pemberi hutang, seperti Dana Moneter International (IMF), World Bank (Bank Dunia), Asian Development Bank (ADB) dan lainnya. Melalui kebijakan ekonomi dan perdagangan, kepentingan dari negara-negara maju telah dikuasai dan diatur oleh korporasi (pemodal/pemilik perusahaan-perusahaan besar skala internasional).
Melalui mekanisme utang, pemodal asing dapat mengatur atau mendikte kebijakan-kebijakan yang diterapkan negara berkembang. Mereka telah mendesain sebuah skenario, agar negara penghutang tidak akan pernah lepas dari hutangnya (John Perkins dalam “The Confession of Economic Hit Men”). Ketika negara penerima utang tidak dapat membayar hutangnya sesuai jadwal, maka skenario dari negara atau lembaga pemberi hutang dijalankan.
Hal ini pulalah yang terjadi pada Indonesia sebagai negara berkembang. Sebagai contoh, pada tahun 1966, saat Indonesia kembali menjadi anggota IMF dan memperoleh pinjaman dari lembaga tersebut, maka Indonesia diwajibkan untuk membuat seperangkat aturan yang mengijinkan investasi asing masuk ke Indonesia (disahkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing). Demikian seterusnya, sampai dengan munculnya kebijakan Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja (LMF) yang merupakan hasil “bimbingan” dari lembaga pemberi utang (“buah” dari bimbingan Post Program Monitoring yang berbentuk Inpres No. 5/2003). Hasil kebijakan LMF yang saat ini dirasakan buruh adalah maraknya sistem kerja kontrak dan outsourcing, upah murah dan kemudahan PHK             .
Perubahan fundamental yang terjadi dalam bidang hukum adalah amandemen ke-4 UUD’45 tahun 2002. Dimasukkannya kata “efisiensi” dalam pasal 33 dan dihapuskannya penjelasan UUD’45, telah memberikan dampak semakin mudahnya investasi dan perdagangan asing masuk ke Indonesia.
Terdapat beberapa perjanjian perdagangan bebas yang saat ini telah ditandatangani oleh Indonesia. Contohnya adalah AFTA (Asean Free Trade Agreement) yang ditandatangai tahun 1992, ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) yang ditandatangani tahun 2004 dan mulai berlaku 1 Januari 2010, Indonesia-Jepang EPA tahun 2007, ASEAN India, ASEAN-Korea, ASEAN-Australia New Zealand, dan lainnya.
Ketika perdagangan bebas ditandatangani ada beberapa klausul yang disepakati. Misalnya dalam hal pajak, pengadaan infrastruktur, tenaga kerja, peraturan perundangan dan lainnya. Dalam hal infrastruktur, Indonesia harus menyediakan sarana infrastruktur yang layak untuk industri. Tentu saja pembangunan infrastruktur membutuhkan biaya yang besar. Di sinilah Pemerintah Indonesia mengajukan hutang kepada investor melalui negara yang bersangkutan atau badan keuangan internasional. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah, hanya terjadi di beberapa lokasi dimana negara pemberi hutang atau investor tersebut akan menanamkan investasinya. Inilah salah satu penyebab mengapa pembangunan di Indonesia tidak pernah adil dan merata. Mengapa? Karena tergantung dari kepentingan penanam modal.
Indonesia harus terbebas dari diktean investor asing dalam kebijakan pembangunan. Hal terpenting dan mendasar yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah mengajukan pemutihan utang demi keadilan dan hak asasi manusia. Dengan terbebas dari utang, maka Indonesia dapat secara berdaulat dan otonom membangun negeri. Uang yang biasanya digunakan untuk membayar utang dan bunganya dapat dialokasikan untuk mensubsidi kebutuhan rakyat kecil seperti pendidikan, kesehatan, informasi, perumahan, infrastruktur untuk daerah pedalaman, dan banyak hal lain yang jauh lebih dibutuhkan oleh rakyat Indonesia.(dom). (sumber:wadas-isbs.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar