Selasa, 04 Oktober 2011

Kisah Bung Hatta dan Sepatu Bally (Inspirasi Bagi TPL)

Pada tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu
tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI,
berminat pada sepatu itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang
memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli
sepatu idaman tersebut.

Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu
terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan
handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir
hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena
tabungannya tak pernah mencukupi.

Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally
itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan
sederhana dari seorang Hatta. Pada hal, jika ingin memanfaatkan
posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk memperoleh
sepatu Bally.
Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang
menjadi kenalan Bung Hatta.

Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta
sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih
jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan
orang lain daripada kepentingannya sendiri.

Pendeknya, itulah keteladanan Bung Hatta, apalagi di tengah carut-
marut zaman ini.



Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang
lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, bersahaja, dan membatasi
konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin
dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain.

Seandainya bangsa Indonesia dapat meneladani karakter mulia
proklamator kemerdekaan ini, seandainya para pemimpin tidak maling,
tidak mungkin bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini menjadi
bangsa terbelakang, melarat, dan nista karena tradisi berutang dan
meminta sedekah dari orang asing.

Pendapat Meutia Hatta (Salah satu anak Bung Hatta)

Kesederhanaan keluarga Bung Hatta serta sangat kokohnya mantan wakil
presiden itu berpegang pada prinsip mungkin dapat disimak dari
penuturan Meutia mengenai kisah sebuah mesin jahit. Sewaktu ayahnya
masih menjadi orang nomor dua di republik ini, ternyata untuk membeli
sebuah mesin jahit pun tidak bisa dilakukan begitu saja.

Menurut antropolog dari Universitas Indonesia tersebut, ibunya -Rahmi
Hatta- harus menabung sedikit demi sedikit dengan cara menyisihkan
sebagian dari penghasilan yang diberikan Bung Hatta.

Namun rencana membeli terpaksa ditunda, karena tiba-tiba saja
pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan nilai
uang) dari Rp100 menjadi Rp 1. Akibatnya, nilai tabungan yang sudah
dikumpulkan Rahmi menurun dan makin tidak cukup untuk membeli mesin
jahit.

“Karena ikut terkena dampak adanya keputusan sanering tersebut, Ibu
kemudian bertanya pada Ayah kok tidak segera memberi tahu akan ada
sanering. Dengan kalem Ayah menjawab, itu rahasia negara jadi tidak
boleh diberitahukan, sekalipun kepada keluarga sendiri” kata istri
ekonom Prof Dr Sri-Edi Swasono itu.

Pendapat Ny. Rahmi Hatta (Istri Bung Hatta)

Di tahun 1950-an, ketika Bung Hatta masih menjabat sebagai wakil
presiden Republik Indonesia, keteguhan prinsipnya kembali tercermin
dalam kehidupan keluarga. Pada saat sekarang, mungkin saja peristiwa
yang saya alami itu dapat direnungkan kembali.

Pada suatu waktu, uang Republik Indonesia (ORI) mengalami pemotongan.
Seperti halnya para ibu rumah tangga lainnya, di masa itu saya sedang
menabung karena saya berniat untuk membeli sebuah mesin jahit. Tentu
dapat dibayangkan betapa kecewanya hati saya saat itu. Ketika Bung
Hatta pulang dari kantor, saya mengeluh, “Aduh, Ayah ?! Mengapa tidak
bilang terlebih dahulu, bahwa akan diadakan pemotongan uang ? Yaaa,
uang tabungan kita tidak ada gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit
sudah tidak bisa lagi, tidak ada harganya lagi.?”

Keluhan wanita mungkin mempunyai alasan tersendiri. Tetapi seorang
pejabat negara seperti Bung Hatta menjawab, “Yuke, seandainya Kak
Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu, nanti pasti hal itu akan
disampaikan kepada ibumu.
Lalu kalian berdua akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan memberi
tahu kawan-kawan dekat lainnya. Itu tidak baik!”

Kepentingan negara tidak ada sangkut-pautnya dengan usaha memupuk
kepentingan keluarga. Rahasia negara adalah tetap rahasia. Sunggguhpun
saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan
kepada siapapun. Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh
negara. Kita coba menabung lagi, ya?”

Inilah sepenggal kisah teladan dari seorang putra bangsa yang sampai akhir hayatnya selalu menngoreskan tinta emas atas jasa-jasanya untuk bangsa. Salut dan rasa bangga selayaknya dapat memotivasi kita untuk lebih maju lagi dan ikhlas berbakti untuk negeri ini. Salam TPL !!! YES !!!




 (sumber : forum detik.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar